Niat dan Ikhlas


Judul Buku : Niat dan Ikhlas
Penulis : Dr. Yusuf Al-Qaradhawi
Penerbit : Pustaka Al-Kautsar
Cetakan : Mei 2008
Tebal : 176 halaman
dakwatuna.com - “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan…” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Alasan mengapa banyak ulama yang mengawali berbagai buku dan karangannya dengan hadits ini – di antaranya Imam Bukhari dalam kitab shahihnya dan Imam Nawawi dalam Riyadhus ShalihinAl-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyah - adalah agar para pembaca menyadari betapa pentingnya niat, sehingga ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan perbuatan baik lainnya.
Agama bertumpu pada dua hal: sisi lahiriyah (perbuatan) dan sisi batiniyah (niat). Dalam ibadah inti, seperti Shalat, Haji, dan Puasa, keberadaan niat merupakan rukun. Sehingga amalan tersebut tidak akan bernilai ibadah jika tidak diiringi dengan niat. Namun kenyataannya niat saja tidak cukup. Semua perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringi niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhaan Allah. Jika sudah demikian barulah perbuatan tersebut bernilai ibadah.
Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar, dan amal menjadi rusak karena niat yang rusak. Nabi SAW telah menyampaikan dua kalimat yang mendalam yang mengandung ilmu, yaitu,
“Sesungguhnya amal-amal itu hanya bergantung pada niat-niat, dan seseorang hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan.”
Dalam kalimat pertama beliau SAW menjelaskan bahwa amal tidak ada artinya tanpa niat. Maka dari itu tidak disebut amal jika tanpa niat. Dalam kalimat kedua beliau menjelaskan, bahwa orang yang melakukan suatu amal tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal ini mencakup berbagai ibadah, muamalah, iman, nadzar, perjanjian, dan tindakan apa pun.
Keberadaan niat harus disertai pembebasan dari segala keburukan, nafsu dan keduniaan, harus ikhlas karena Allah, dalam setiap amal-amal akhirat, agar amal itu diterima di sisi Allah. Namun mewujudkan ikhlas bukanlah perkara yang mudah. Jangan mengira bahwa ikhlas itu bisa diperoleh setiap tangan yang menghendakinya, dan bahwa ikhlas itu bisa diperoleh dengan usaha yang sederhana tanpa harus bersusah payah. Ini jauh sama sekali dari hakikat. Yang pasti, mewujudkan ikhlas itu bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang-orang yang biasa bertindak hanya berdasarkan kepada permukaan yang tampak, tidak dengan kandungan, atau bertindak dengan bungkus dan bukan dengan arti.
Orang-orang arif yang meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas itu di dalam jiwa, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah. Membersihkan jiwa dari hawa nafsu yang tampak maupun tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. Meredam egoisme, kecintaan kepada diri sendiri, cinta dunia dan keinginan untuk mendapatkan tujuan secara langsung, adalah pekerjaan yang amat besar.
Oleh karena itu perlu usaha maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi syetan ke dalam jiwa, membersihkan jiwa dari unsur-unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, suka berpenampilan dan pamer. Sebab unsur-unsur seperti ini lebih banyak menguasai jiwa manusia. Maka dari itu seorang Rabbani pernah ditanya, dia adalah Sahl bin Abdullah At-Tustary, “Apakah sesuatu yang paling berat bagi jiwa?” Maka dia menjawab, “Ikhlas. Sebab ia tidak mendapatkan bagian apa-apa.”
Yang lain juga berkata, “Memurnikan niat jauh lebih sulit bagi para ahli ibadah daripada segala amal.”
Yusuf bin Al-Husain Ar-Razy berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak ikhlas menggugurkan riya’ dari hati. Seakan-akan ia menumbuhkan warna lain di dalamnya.”
Yahya bin Abu Katsir berkata, “Belajarlah niat, karena niat itu lebih penting daripada amal.”
Sufyan Ats-Tsaury berkata, “Tidak ada yang lebih sulit kutuntaskan pada diriku selain niat. Sebab niat itu bisa berubah menjadi dosa atas diriku.”
Daud Ath-Tha’y berkata, “Saya melihat semua kebaikan bertumpu pada niat yang baik.”
Yusuf bin Asbath berkata, “Membebaskan niat dari kerusakannya lebih sulit bagi orang-orang yang beribadah daripada berjihad dalam jangka waktu yang lama.”
Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Berapa banyak amal yang remeh menjadi besar gara-gara niat, dan berapa banyak amal yang besar menjadi remeh gara-gara niat.”
Ada pula yang berkata, “Ikhlas satu saat merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas adalah sesuatu yang sangat mulia.”
Mereka berkata seperti itu, karena sulitnya membebaskan diri dari nafsu. Karena mereka sangat menyadari bahwa Allah tidak akan menerima hati yang dirasuki tujuan lain, tidak menerima amal yang dirasuki tujuan lain, Dia hanya menerima amal yang murni karena mengharap keridhaan-Nya semata.
Buku ini mengupas satu cabang fundamental dari berbagai cabang iman yang paling tinggi, tentang salah satu dari berbagai kedudukan agama dan tentang salah satu dari berbagai akhlak para Rabbani, yaitu niat dan keikhlasan. Sekali lagi niat bukanlah perkara sepele dan mewujudkan keikhlasan bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu melalui buku ini penulis (Dr. Yusuf Al-Qaradhawi) mengajak pembaca agar kembali memperhatikan niatnya, karena niat adalah dasar amal dan kebaikan. (ZR)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20724/niat-dan-ikhlas/#ixzz1w98cgcBk

Posting Komentar untuk "Niat dan Ikhlas"