Sebandingkah Amal Kita?


Sebandingkah Amal Kita?

Jika membandingkan amal-amal kita dengan nikmat-nikmat yang kita dapat dan harap dari Allah Ta’ala, maka kita akan segera sadar bahwa, amal yang paling kita butuhkan adalah bertobat dan banyak-banyak beristighfar. Karena dengan perbandingan itu kita akan mengetahui betapa kecil, kerdil dan tak sebandingnya amal-amal kita itu di hadapan nikmat-nikmat besar, agung dan tak terbilang yang menjadi pembanding.
Minimal ada empat hal atau faktor pembanding, dimana seistimewa apapun amal seseorang, tidak akan ada apa-apanya bila dibandingkan dengan satu faktor saja diantaranya, bagaimana dengan keempat-empatnya? Dan ketika ada suatu amal tertentu, yang berdasarkan dalil, bisa mengimbangi dan menutup salah satu atau sebagian faktor pembanding, maka sebenarnya hal itu bukanlah karena saking istimewanya amal itu sendiri. Melainkan karena keistimewaan rahmat dan kasih sayang Allah semata, Yang Menganggap dan Menjadikan suatu amal yang sejatinya biasa-biasa saja, sebagai amal yang luar biasa istimewa! Dan itu tiada lain merupakan rahmat tersendiri yang tentu saja menuntut syukur tersendiri pula. Sebagai contoh misalnya tentang keistimewaan dua rakaat shalat dhuha, yang bila ditunaikan pada suatu pagi, dinilai telah cukup sebagai pembayar dan penutup kewajiban syukur hari itu atas seluruh kenikmatan fisik yang terdiri dari 360 ruas (lih. HR. Muslim dari Abu Dzarr ra. dan HR. Muslim dari ‘Aisyah ra.). Nah, bagaimana shalat dua rakaat dhuha yang mungkin hanya membutuhkan waktu kurang dari lima menit, bisa seistimewa itu nilainya, sehingga dianggap dan dinilai cukup sebagai penebus dan penutup kewajiban syukur atas kenikmatan seluruh anggota tubuh seseorang, yang tidak terukur nilainya? Hal itu tiada lain, karena Allah dengan keluasan dan kemurahan rahmat-Nya, telah menilai dan menjadikannya demikian!
Faktor pembanding pertama: Nikmat-nikmat tak terhingga yang wajib disyukuri dengan beragam amal sebagai bukti. Nah, untuk tujuan dan kepentingan menutup kewajiban syukur nikmat ini saja, tidak mungkin ada amal seistimewa dan sehebat apapun, yang benar-benar bisa membandingi dan mengimbangi. Sederhana saja, bagaimana mungkin amal-amal yang sangat terbatas dan mudah dihitung, bisa membandingi dan menandingi nikmat-nikmat Allah yang sangat tidak terbatas dan tidak mungkin mampu dihitung? (QS. Ibrahim: 34 dan An-Nahl: 18). Dan karenanya, tentu nikmat yang tidak bisa disadari dan diketahui jauh lebih banyak daripada yang mampu disadari dan diketahui. Nah, jika untuk menyadari dan mengetahui saja tidak mampu, bagaimana mungkin seseorang akan bisa memenuhi kewajiban syukur atasnya?
Faktor pembanding kedua: Dosa-dosa menumpuk dan menggunung yang juga harus dihapus dengan amal dan tobat. Ya, salah satu manfaat yang hendak didapat, tujuan yang ingin dicapai, dan target yang mau diraih, dengan setiap amal yang dilakukan seseorang, adalah agar bisa menjadi penghapus dan pelebur dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Dari Abu Dzarr ra. ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepadaku: “Bertakwalah kamu kepada Allah dimana saja dan dalam kondisi apa saja kamu berada, dan ikutilah setiap keburukan (perbuatan dosa) dengan kebaikan (amal saleh) yang dapat menghapuskannya, serta bergaullah kepada masyarakat dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad). Nah untuk tujuan inipun, kalau bukan karena rahmat dan kasih sayang Allah, amal seutama apapun tidak akan sebanding dengan banyak dan beragamnya dosa. Apakah ada seseorang diantara kita yang berani mengklaim dan mengaku bahwa, amal-amalnya lebih banyak daripada dosa-dosanya?
Faktor pembanding ketiga: Harapan akan beragam rahmat Allah, baik sepanjang hidup di dunia ini, maupun nanti untuk kehidupan di akherat, dan puncaknya adalah beroleh Surga Allah dan ridha-Nya. Kalau seluruh amal kita, jika dinilai apa adanya, sudah tidak cukup sebagai pembanding untuk menutup kewajiban syukur nikmat yang tiada terhingga, atau sebagai penebus dan penghapus dosa-dosa yang juga tak terbilang, maka apalagi bila hendak dijadikan juga sebagai wasilah dan sarana untuk mendapatkan beragam rahmat lain, baik yang duniawi maupun apalagi yang ukhrawi, dimana puncaknya adalah Surga Allah dan ridha ilahi, tentu saja akan lebih tidak cukup lagi. Dan ketika amal-amal itu dianggap dan dinilai cukup dalam timbangan syariah, maka itu hanyalah bukti keistimewaan, keluasan dan kemurahan rahmat Allah Ta’ala, yang tentu wajib selalu kita syukuri.
Faktor pembanding keempat: Harapan akan perlindungan diri dari bermacam ragam potensi mara bahaya yang sewaktu-waktu bisa menimpa siapa saja. Baik itu untuk bahaya-bahaya selama hidup di dunia ini, maupun utamanya bahaya terbesar kelak di akherat berupa siksa api neraka, na’udzu billah min dzalik. Dan untuk menegaskan betapa tak sebandingnya seluruh amal kita, seistimewa apapun, dengan perlindungan dan keselamatan diri yang kita harapkan, Baginda Sayyiduna Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Beramallah selalu seoptimal mungkin, dan beristiqamahlah, serta ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada seorangpun dari kalian yang bisa selamat (dari bahaya dan ancaman siksa) hanya dengan (mengandalkan) amalnya semata” Mereka (para sahabat) bertanya: Apakah tidak juga Engkau, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ya, tidak juga aku (bisa selamat hanya karena amalku), kecuali bila Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepadaku” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra.).
Akhirnya, jika demikian halnya, maka marilah kita tak putus berupaya untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas bukti syukur kita kepada Allah Ta’ala Dzat Penganugerah segala rahmat dan nikmat yang tiada terhingga. Di saat yang sama, marilah pula tak henti selalu bertobat dengan taubatan nashuha dan beristighfar dengan istighfar yang sebanyak-banyaknya, yang kita harap bisa menutup kekurangan dan kelemahan kita dalam memenuhi kewajiban syukur! SEMOGA!

http://ustadzmudzoffar.wordpress.com/2012/04/12/sebandingkah-amal-kita/

Posting Komentar untuk "Sebandingkah Amal Kita?"