Malu kepada Allah SWT

Pendahuluan

Kata “malu” merupakan terjemahan dari bahasa Arab ”al-haya’” atau ”al-istihya’”. Mengutip pendapat para ulama, Imam Abu Zakariya An-Nawawy mengatakan bahwa haya’ atau malu adalah sebuah sikap yang dapat mendorong seseorang untuk meninggalkan yang buruk dan mencegahnya dari lalai terhadap pemenuhan hak dirinya atau orang lain.[1]

Rasa malu yang dimiliki seseorang bisa bernilai positif (terpuji) dan bisa negatif (tercela). Malu yang terpuji ialah malu yang membuat seseorang menahan dirinya dari perbuatan dosa atau membuatnya lebih sempurna dalam menjalankan agama Allah. Misalnya; seorang ibu yang belum lancar membaca Al-Qur’an merasa malu kepada anaknya yang sudah fasih dan merdu dalam membaca Al-Qur’an padahal ia belum tamat sekolah Dasar. Setelah itu, ia belajar dengan serius dan akhirnya dalam waktu tidak lama, kualitas bacaannya melebihi anaknya. Rasa “malu” ibu tersebut sangat terpuji, sebab telah memotivasinya menjadi lebih baik.

Sedangkan malu yang tercela ialah malu yang dapat menghalangi seseorang mendapatkan kebaikan di dunia atau pahala di akhirat. Misalnya; seorang bapak menghadiri majlis taklim di masjid. Sementara ada salah satu masalah penting yang disampaikan oleh pembicara yang belum difahaminya, tetapi ia tidak mau bertanya karena merasa malu kepada hadirin yang lain. Akhirnya ia pulang dengan membawa ketidaktahuannya. Rasa “malu” bapak tersebut sangat tidak terpuji, sebab telah membuatnya tetap dalam kebodohan. Ibarat pepatah mengatakan, “Malu bertanya sesat di jalan.”

Rasulullah saw. adalah pemalu. Namun rasa malu beliau selalu dalam bingkai keterpujian. Bahkan rasa malu beliau sudah melekat kuat sejak sebelum beliau diutus menjadi Rasul.

Jabir bin Abdullah ra bercerita: Ketika perbaikan Ka’bah sedang dikerjakan (sebelum Muhammad diutus menjadi Rasul), Nabi dan ’Abbas (paman beliau) bertugas mengangkut batu. Abbas berkata kepada Nabi, “Letakkan kainmu diatas pundakmu untuk landasan batu.” Maka beliau melakukannya dan langsung jatuh pingsan sambil kedua matanya membelalak ke langit. Setelah sadar, beliau langsung berdiri dan berkata, “Mana kainku? Mana kainku?.” Akhirnya beliau menutup badannya dengan kain tersebut. (Hr. Muslim).[2]

Begitu pemalunya beliau. Sampai-sampai ketika pakaiannya tersingkap dan auratnya kelihatan, beliau langsung jatuh pingsan. Dan sifat terpuji itu terus melekat dan semakin sempurna sampai beliau diutus menjadi Rasul. Sebagaimana dituturkan oleh Abu Said Al-Khudry, “Rasulullah saw. adalah seorang yang sangat pemalu melebihi seorang gadis. Dan jika beliau tidak menyukai sesuatu, kami memahaminya dari raut mukanya.” (Hr. Muslim).[3]



Macam-Macam Malu

Ada tiga macam malu yang terjadi pada diri seseorang, yaitu:

1. Malu kepada Allah.

Rasa malu kepada Allah mendorong orang untuk selalu menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Diriwayatkan bahwah Alqomah bin Ulatsah pernah berkata kepada Rasulullah saw, ”Ya Rasulullah, berilah nasehat kepadaku.” Maka Rasulullah saw bersabda, ”Hendaknya kamu merasa malu kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan orang-orang terhormat di kaummu merasa malu kepadamu.”

Rasa malu yang sesungguhnya kepada Allah lahir dari aqidah yang bersih dan pemahaman agama yang benar.

2.Malu kepada orang lain.

Rasa malu kepada orang lain membuat orang tidak menyakiti orang lain dan tidak ingin melakukan perbuatan dosa secara terang-terangan (diketahui oleh orang lain). Rasa malu seperti ini bisa lahir dari seseorang yang memiliki muru’ah (etika mulia) dan bisa juga lahir dari orang yang senang mendapat pujian orang lain.

Abu Said Al-Khudry ra berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya diantara orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari Qiyamat ialah seorang laki-laki yang bersetubuh dengan istrinya, kemudian ia menyebarluaskan rahasia istrinya.” (Hr. Muslim)[4]

Laki-laki sebagaimana digambarkan dalam hadits diatas adalah laki-laki yang tidak punya malu. Sehingga ia tidak segan untuk menceritakan sesuatu yang seharusnya dirahasiakan dan membuka sesuatu yang seharusnya ditutupi.

3.Malu kepada diri sendiri.

Rasa malu kepada diri sendiri ditandai dengan sifat ’iffah (menjaga diri) dan selalu waspada terhadap dosa pada saat sendiri. Seorang ahli hikmah pernah berkata, ”Hendaknya rasa malu-mu kepada dirimu sendiri lebih besar dari rasa malu-mu kepada orang lain.” Seorang budayawan pernah berkata, ”Orang yang pada saat sendiri melakukan suatu perbuatan yang tidak mungkin dilakukannya pada saat dilihat orang lain karena malu, maka pada saat itu dirinya tidak memiliki harga sama sekali.”[5]


Konsekwensi Malu Kepada Allah

Abdullah bin Mas’ud ra berkata: Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya kalian merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” Kemudian kami berkata, “Sungguh kami semua malu kepada Allah. Alhamdulillah.” Beliau bersabda, “Bukan begitu yang aku maksudkan. Tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu ialah dengan menjaga apa yang diperbuat oleh kepala; apa yang dikandung oleh perut; hendaknya kamu mengingat kematian dan kehancuran; dan barang siapa menghendaki (kebahagiaan) di akhirat, maka ia akan meninggalkan kesenangan duniawi. Barang siapa melaksanakan hal-hal itu, maka berarti ia telah memiliki rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” (Hr. Tirmidzi dan Ahmad).[6]

Berdasarkan hadits diatas, terdapat empat konsekwensi malu kepada Allah, yaitu:

Memelihara kepala dari perbuatan yang terlarang.

Yang dimaksud dengan memelihara kepala adalah termasuk menjaga semua organ tubuh manusia yang berada di kepala, antara lain: mata, lisan, telinga dan pikiran. Dengan demikian orang orang yang merasa malu kepada Allah selalu menjaga:

- matanya; misalnya dengan menggunakannya untuk memperhatikan ciptaan Allah dalam rangka tafakkur fii kholqillah, menundukkan pandangannya agar tidak memandang sesuatu yang diharamkan, memalingkan pandangannya agar tidak memandang aib saudaranya.

- lisannya; misalnya dengan memperbanyak tilawah Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah, mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah, memberi nasehat kepada orang lain, berbicara yang baik dan bermafaat.

- telinganya; misalnya dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, mendengarkan nasehat dan pengajian agama Islam, menutupnya apabila mendengar pembicaraan yang termasuk ghibah (menggunjing).

- pikirannya; misalnya dengan melakukan observasi terhadap keajaiban ciptaan Allah di alam semesta, mencermati problematika umat dan mencari solusinya, mengkaji sistem pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman, melindungi pemikirannya dari ideologi sesat serta menjauhi memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Termasuk tindakan menjaga kepala dari perbuatan maksiyat ialah seperti: tidak menggunakan kepala untuk bersujud kepada selain Allah, tidak ”menganggukkan atau menggelengkannya” kecuali jika diridhai oleh Allah swt dan tidak menengadahkannya dengan rasa takabbur (sombong).

Menjaga perut dan semua organ tubuh yang berdekatan dengannya dari yang diharamkan.

Orang yang merasa malu kepada Allah akan selalu menjaga:

- perutnya; agar jangan sampai makan atau minum sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt.

- kedua kakinya; agar jangan sampai melangkah menuju tempat-tempat yang dimurkai oleh Allah serta jangan sampai menendang atau menginjak sesuatu yang mendatangkan kemarahan-Nya.

- kedua tangannya; agar jangan sampai mengambil yang bukan haknya, memukulkan palu pada pengadilan yang tidak adil, menandatangani perjanjian atau kesepakatan yang dimurkai oleh Allah atau menyakiti orang lain dengan cara apapun.

- kemaluannya; agar jangan sampai melakukan bahkan mendekati zina dengan cara apapun.

Menyiapkan diri menghadapi kematian.

Setiap manusia pasti akan mati. Namun ia tidak pernah tahu tentang kapan dan dimana ia mati. Pengetahuan tentang itu hanyalah milik Allah swt. Dan setelah mati (ketika ruhnya berpisah meninggalkan jasadnya), ia diletakkan di dalam kubur. Sendiri. Sunyi. Setelah itu jasadnya menjadi tulang-belulang yang akhirnya hancur.

Mengingat-ingat kematian seperti itu membuat setiap manusia merasakan bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat kecil sehingga tidak pantas bersikap sombong ketika hidup di dunia dan membuat manusia merasakan bahwa dirinya adalah makhluk yang sangat lemah sehingga tidak layak apabila menindas orang lain saat berkuasa di dunia. Seharusnya ia banyak menundukkan wajahnya di hadapan Allah bila mengingat kondisi jasadnya ketika berada di dalam kubur.

Di dalam kubur, setiap manusia akan mendapat pertanyaan-pertanyaan seputar keyakinannya tentang eksistensi Allah sebagai Tuhan-nya, Muhammad saw sebagai teladannya, Islam sebagai way of life-nya dan sebagainya. Untuk bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia tidak bisa menyiapkan teks jawaban yang dihafal sejak masih hidup. Namun, lulus dan tidaknya menjawab pertanyaan di kubur ditentukan oleh sejauhmana manusia itu mentaati Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti ajaran agama Islam. Maka orang yang malu kepada Allah akan disibukkan dengan ibadah dan amal shalih sebagai kunci jawaban agar sukses menghadapi pertanyaan kubur.

Menjauhi kemewahan duniawi.

Kehidupan akhirat adalah kehidupan yang baqa’ (abadi) sedangkan kehidupan dunia bersifat sementara, main-main, menipu dan fana’ (pasti hancur). Oleh sebab itu, orientasi hidup seorang mukmin adalah ukhrawi dan bukan duniawi.

Orang yang memiliki orientasi ukhrawi, hidupnya dipenuhi dengan kesabaran ketika mendapat musibah dan kesyukuran ketika mendapat nikmat. Sementara orang yang orientasi hidupnya adalah duniawi, maka hidupnya diliputi dengan keluh kesah, keserakahan dan kesombongan serta semua urusan diukur dengan keuntungan materi dunia semata.

Orang yang malu kepada Allah tidak akan menyibukkan diri dengan merawat ketampanan atau kecantikan fisiknya semata. Sebaliknya, ia akan menyibukkan diri dengan mengikhlaskan hatinya dalam setiap ibadah dan amalnya. Orang yang malu kepada Allah tidak hanya menginvestasikan hartanya untuk mendapatkan keuntungan di dunia yang tidak seberapa. Sebaliknya, ia akan memperbanyak investasi pahala melalui zakat, infaq, shadaqah waqaf dan sebagainya. Orang yang malu kepada Allah tidak akan sibuk dengan menghitung aib orang lain. Sebaliknya, ia akan menghabiskan waktu siang dan malamnya untuk melakukan muhasabah (introspeksi) agar bisa menemukan kesalahan dirinya lalu beristighfar kepada Allah.

Penutup

Dari kajian terhadap banyak dalil-dalil syar’i dari al-Qur’an dan Hadits, didapatkan simpulan bahwa rasa malu dapat menjadi penggerak hati seseorang untuk beramal shalih atau meninggalkan maksiyat. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia merupakan pertahanan terakhir seseorang dari serangan hawa nafsu. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda, ”Apabila kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (Hr. Bukhari dari Ibnu Mas’ud ra).[7]

Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Ust Farid Dhofir,Lc, Msi

www.jilbabfara.com


Referensi:
[1]. Imam Abu Zakariya An-Nawawy, Riyadlush Shalihin, juz 1, hlm. 93 (http:/www.alwarraq.com)
[2]. Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisabury, Shahih Muslim, hadits nomor 514 (http://www.al-islam.com)
[3]. Ibid, hadits nomor 4284.
[4]. Ibid, hadits nomor 2597.
[5]. Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Bashry Al-Mawardy, Adabud Dun-ya Wad Diin, Darul Fikr, Beirut, cetakan ketiga, hlm. 242-244.
[6]. Imam At-Tirmidzy, Sunan Tirmidzy, hadits nomor 2382 dan Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad, hadits nomor 3489 (http://www.al-islam.com)
[7]. Abu Abdillah, Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, hadits nomor 3225 (http://www.al-islam.com


Posting Komentar untuk "Malu kepada Allah SWT"