Kejujuran Karakter Seorang Muslim



kejujuran
kejujuran

kejujuran sudah menjadi bahan langka dalam kehidupan ini, anak berbohong kepada orangtua, bawahan kepada atasan, adik kepada kakak, orangtua kepada anak, atasan kepada bawahan, kakak kepada adik, korupsi merajalela, produk-produk bajakan bertebaran di mana-mana. Dan banyak lagi masalah-masalah ketidak jujuran muncul dengan mode dan trend yang beragam dalam masyarakat kita.


Dari Abdullah lbnu Mas'ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Selayaknya bagi kamu untuk berlaku jujur, karena kejujuran mengantarkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menghantarkan ke surga. Sesungguhnya, seseorang jika berlaku jujur akan ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.Hindarilah berlaku dusta, karena dusta mengantarkan kepada kejahatan, sedangkan kejahatan mengantarkan ke neraka. Sesungguhnya seseorang jika berlaku dusta akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta."
[Shahih, di dalam kitab Adh-Dha'ifah (6323). Bukhari]
Dari Hadits diatas tentu mengambarkan sebagai muslim kita harus berupaya untuk menyempurnakan diri kita dalam beragama dengan kejujuran yang tertanan dalam berbagai aspek kehidupan kita, karena kejujuran adalah sebab dari suatu banyak akibat-akibat keburukan yang akan mengikutinya.

Banyak kisah tentang nilai-nilai kejujuran yang telah di tayangkan dalam kehidupan sebelumnya, semisal kisah Sahabat Ka’ab Bin Malik ra, yang tidak berangkat dalam perang khandaq dan mendapat iqab dari Rasulullah SAW. Di mana ka’ab adalah seorang sahabat yang termasuk pandai dalam berbicara dan berorasi, namun dia berkata saat menjelaskan alasan kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW seandainya yang di depanku bukan Engkau maka tentu aku akan berbohong kepada mu” kejujuran Ka’ab bin Malik ra inilah yang menyebabkan dirinya di iqabnya dengan hukum pemboikotan oleh kaum muslimin selama 40 hari. Sampai akhirnya Ayat Al Qur’an turun yang menerang bahwa beliau di ampuni oleh Allah SWT. Para ulama tafsir mengatakan bahwa beliau di ampuni karena berkata jujur sementara banyak orang-orang munafik yang tidak ikut peperangan tersebut yang tidak di hokum karena kebohongannya. Karena kejujuran itulah Ka’ab bin Malik ra di muliakan Allah dengan AyatNya.

Atau kisah Al Mubarak seorang pembantu yang bertugas di kebun buah majikannya untuk menjaga kebun tersebut. Pada suatu saat beliau di minta oleh majikannya untuk mengambilkan satu buah yang manis, setelah buah di ambil dan di makan oleh majikannya ternyata buah itu asam, lalu majikan nya berteriak hai Mubarak ambilkan lagi buah yang manis ini asam, lalu di ambilkannya lagi ternyata masih tetap asam. Sampai yang ketiga kalinya dan masih tetap asam, sang majikan bertanya “hai mubarak apa kamu tau cirri-ciri buah yang manis?” beliau menjawab “tidak tuan”. “Apakah selama menjaga kebunku kamu tidak pernah memakan buah ini?” beliau menjawab ”tidak karena aku hanya di perintahkan untuk menjaga kebun ini ”. Sampai sang pemilik kebun tertegun atas kejujuran yang di perlihatkan pembantunya. Dan Majikan tersebut berkata “ Wahai mubarak, aku memiliki seorang putri, siapakah yang menurut kamu patut untuk menikahi putrid ku. Mubarak berkata “orang yahudi menikah karena kekayaannya, orang nasrani karena paras wajahnya, Qurais karena keturunanya, maka nikahkanlah putri tuan dengan orang yang baik agamanya” Akhir cerita Mubarak di nikahkan dengan putri pemikik kebun tersebut yang terkenal kecantikan, dan agamanya.

Imam Al-Ghazali menyebut ada Lima Bentuk Kejujuran. Pertama, jujur dalam ucapan. Tiap kata yang meluncur dari bibir dan lisan seseorang wajib memuat dan mengandung kebenaran. Bukan gunjingan, gossip, dan fitnah. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendakah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari-Muslim)

Kedua, jujur dalam berniat. Tanda niat yang benar, salah satu tandanya, berbanding lurus dengan perbuatan di lapangan kehidupan. Niat saja belum cukup jika tidak diiringi dengan kemauan dan kejujuran bahwa dirinya akan berupaya sekuat tenaga mewujudkan niatnya tersebut.

Dalam kasus contekan masal beberapa waktu lalu, menjadi pertanyaan besar buat kita, apakah selama ini para guru dan orangtua telah membiasakan siswa dan anak-anaknya untuk memasang niat yang baik dalam mencari ilmu? Apakah niat mereka sudah tepat yaitu mencari ilmu karena Allah ataukah supaya memperoleh nilai yang bagus, lalu lulus, dan selanjutnya memperoleh gelar dan ijazah? Dari niat, semuanya berawal dan padanya berakhir.

Ketiga, jujur dalam kemauan. Jujur dalam kemauan merupakan usaha agar terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam menyampaikan kebenaran. Berpikir masak sebeleum bertindak, menimbang baik-buruk dengan ‘kacamata’ Allah adalah tanda jujur dalam kemauan ini. Pada saat seseorang telah jujur dalam kemauan, tidak ada hal yang ingin ia gapai selain melakukan perkara yang dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Keempat, jujur dalam menepati janji. Janji adalah hutang, demikian kalimat yang sering terngiang. Karena hutang, maka wajib untuk dibayar sesuai dengan nilainya. Menepati janji bukan sembarang sikap. Menepati janji berarti mempertaruhkan harkat dan martabat dirinya di hadapan orang lain demi memberi keyakinkan pada orang tersebut bahwa ia sanggup untuk membayarnya. Dengan sikap jujur, janji akan tertunai dan amanah akan dijalankan.

Kelima, jujur dalam perbuatan. Sebagaimana Al-Ghazali menerbitkan makna jujur dalam niat dan perkataan, pada traktak bentuk kejujuran yang kelima ini, Ghazali menggarisbawahi agar kita melengkapi diri dengan jujur dalam perbuatan.

Ucapan yang baik dan niat tulus akan menjadi semakin indah jika ada wujud amal dalam kenyataan. Jujur dalam perbuatan artinya memperlihatkan sesuatu apa-adanya. Tidak berbasa-basi. Tidak membuat-buat. Tidak menambah dan mengurangi. Apa yang ia yakini sebagai kejujuran dan kebenaran, ia jalan dengan keyakinan kuat bahwa Allah bersama orang-orang yang benar-benar benar.

Ibu Siami baru melewati sebagian bentuk kejujuran dalam pandangan Imam Al-Ghzali, kejujuran dalam mengungkap sebuah fakta yang mencoreng dunia pendidikan nasional di tanah air. Ada bentuk-bentuk kebenaran yang menunggu untuk kita laksanakan. Mampukah kita ?




Posting Komentar untuk "Kejujuran Karakter Seorang Muslim"